Selasa, 13 Mei 2008

Konsep Managed Care (JPKM) dalam Askes Medan Sehat

Pemerintah Indonesia melalui UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, telah menata reformasi pemeliharaan kesehatan dengan JPKM. Selanjutnya pemerintah juga melalui UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), telah menata system jaminan sosial masyarakat Indonesia, sehingga diharapkan seluruh masyarakat Indonesia mendapat jaminan khususnya terhadap pelayanan kesehatan.

Sehubungan hal tersebut, Pemerintah Kota Medan bermaksud mewujudkan apa yang diamanatkan SJSN. kebijakan tersebut untuk meningkatkan universal coverage, khususnya bagi masyarakat pekerja informal di sektor perdagangan, jasa, industri dan lainnya yang jumlahnya diperkirakan sebesar 709.669 jiwa (35,36%), dimana selama ini tidak tercover asuransi kesehatan. Kelompok masyarakat ini belum memiliki perlindungan kesehatan dalam bentuk apapun, bagaikan kelompok masyarakat yang terlupakan karena dianggap mampu menangani masalah kesehatannya, padahal sebenarnya cukup rentan bila menderita sakit. Berdasarkan tingkat pendapatannya, kelompok masyarakat ini dapat dibagi pada beberapa tingkatan, dari tingkat pendapatan rendah sampai dengan tinggi, namun secara umum kelompok masyarakat ini bukan termasuk kelompok masyarakat tidak mampu/miskin. Padahal hasil evaluasi di lapangan, kelompok masyarakat tersebut sangat terdesak secara ekonomis terutama bila menderita penyakit yang relative berat dan kompleks, sehingga sering terjadi pengalihan peserta menjadi peserta PJK-MM (Gakin).
Oleh karena itu, agar seluruh masyarakat Kota Medan memiliki Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK), maka kelompok masyarakat pekerja informal yang selama ini belum tercakup JPK secara bertahap akan terlindungi dengan JPK yang disebut sebagai Program “Askes Medan Sehat” dalam mewujudkan Medan sehat Sejahtera 2010.
Menarik pengalaman dari banyak Negara, mekanisme pembiayaan kesehatan yang dinilai lebih baik untuk diterapkan pada program “Askes Medan Sehat” adalah menerapkan sistem managed care dengan cara penghimpunan iuran di muka (prepaid) dari konsumen kepada penyelenggara pemeliharaan kesehatan, dikaitkan dengan pembayaran pra-upaya (prospective payment) dari penyelenggara kepada pemberi pelayanan kesehatan. Mekanisme pemeliharaan kesehatan yang perhitungan biayanya berbasiskan telaah utilisasi pelayanan tersebut, mendorong kendali biaya dan kendali mutu sekaligus, sehingga lebih efisien dan efektif. Dalam dunia jaminan kesehatan, mekanisme kendali biaya dan kendali mutu ini dinamakan “managed care”, dan di Indonesia dinamakan metode/cara atau mekanisme JPKM (Jaminan pemeliharaan Kesehatan Masyarakat).
Managed Care (Managed Health Care) adalah sistem yang mengintegrasikan antara pembiayaan dan pelayanan kesehatan yang tepat dengan ciri-ciri sebagai berikut: kontrak dengan dokter atau rumah sakit yang terpilih untuk memberikan pelayanan komprehensif termasuk promosi dan prevensi kepada populasi peserta, pembayaran pada provider dengan sistem pembayaran prospektif, pembayaran premi per orang per bulan telah ditentukan sebelumnya dan biasanya berdasar kapitasi, adanya kendali utilisasi dan mutu dimana dokter atau rumah sakit telah menerima kendali tersebut dalam kontrak, adanya insentif finansial bagi pasien untuk memanfaatkan provider dan fasilitas yang ditunjuk dan adanya risiko finansial bagi dokter ataupun rumah sakit
Di Indonesia tantangan terhadap akses, pemerataan, peningkatan biaya dan tuntutan kualitas pelayanan kesehatan akan diperberat dengan adanya realitas perubahan demografi, sosio ekonomi dan perubahan pola penyakit dan masuknya teknologi canggih di bidang kesehatan. Karena itulah nampaknya sistem managed care dapat digunakan sebagai langkah antisipatif yang mengacu masa depan, menguntungkan semua fihak dan kompetitif.
Sebenarnya sistem pelayanan yang diterapkan oleh PT. Askes, PT. Jamsostek dan Bapel JPKM sudah mengarah ke prinsip-prinsip managed care. Hanya karena kesiapan beberapa pihak baik dari demand side (masyarakat) maupun supply side (penyedia pelayanan kesehatan) yang belum optimal maka jalannya masih belum seperti yang diharapkan. Selain itu perundang-undangan yang terkait dengan asuransi kesehatan di Indonesia (Kepres No 280/1968, PP 69/1991, UU No 2/1992, UU No 3/1992, PP 14/1992, PP 36/194, UU No 23/1992), masih terkesan "tumpang tindih dan bersifat pluralistik", sementara UU No. 40 tahun 2004 pun belum dapat terealisasi mengingat Peraturan Pemerintah yang mengatur secara teknis juga belum ada. Tata hukum yang mengatur kedudukan, fungsi dan hubungan antara peserta, penyedia pelayanan kesehatan (rumah sakit dan dokter) serta badan penyelenggara asuransi kesehatan nampaknya masih belum siap.