Selasa, 13 Mei 2008

Konsep Managed Care (JPKM) dalam Askes Medan Sehat

Pemerintah Indonesia melalui UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, telah menata reformasi pemeliharaan kesehatan dengan JPKM. Selanjutnya pemerintah juga melalui UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), telah menata system jaminan sosial masyarakat Indonesia, sehingga diharapkan seluruh masyarakat Indonesia mendapat jaminan khususnya terhadap pelayanan kesehatan.

Sehubungan hal tersebut, Pemerintah Kota Medan bermaksud mewujudkan apa yang diamanatkan SJSN. kebijakan tersebut untuk meningkatkan universal coverage, khususnya bagi masyarakat pekerja informal di sektor perdagangan, jasa, industri dan lainnya yang jumlahnya diperkirakan sebesar 709.669 jiwa (35,36%), dimana selama ini tidak tercover asuransi kesehatan. Kelompok masyarakat ini belum memiliki perlindungan kesehatan dalam bentuk apapun, bagaikan kelompok masyarakat yang terlupakan karena dianggap mampu menangani masalah kesehatannya, padahal sebenarnya cukup rentan bila menderita sakit. Berdasarkan tingkat pendapatannya, kelompok masyarakat ini dapat dibagi pada beberapa tingkatan, dari tingkat pendapatan rendah sampai dengan tinggi, namun secara umum kelompok masyarakat ini bukan termasuk kelompok masyarakat tidak mampu/miskin. Padahal hasil evaluasi di lapangan, kelompok masyarakat tersebut sangat terdesak secara ekonomis terutama bila menderita penyakit yang relative berat dan kompleks, sehingga sering terjadi pengalihan peserta menjadi peserta PJK-MM (Gakin).
Oleh karena itu, agar seluruh masyarakat Kota Medan memiliki Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK), maka kelompok masyarakat pekerja informal yang selama ini belum tercakup JPK secara bertahap akan terlindungi dengan JPK yang disebut sebagai Program “Askes Medan Sehat” dalam mewujudkan Medan sehat Sejahtera 2010.
Menarik pengalaman dari banyak Negara, mekanisme pembiayaan kesehatan yang dinilai lebih baik untuk diterapkan pada program “Askes Medan Sehat” adalah menerapkan sistem managed care dengan cara penghimpunan iuran di muka (prepaid) dari konsumen kepada penyelenggara pemeliharaan kesehatan, dikaitkan dengan pembayaran pra-upaya (prospective payment) dari penyelenggara kepada pemberi pelayanan kesehatan. Mekanisme pemeliharaan kesehatan yang perhitungan biayanya berbasiskan telaah utilisasi pelayanan tersebut, mendorong kendali biaya dan kendali mutu sekaligus, sehingga lebih efisien dan efektif. Dalam dunia jaminan kesehatan, mekanisme kendali biaya dan kendali mutu ini dinamakan “managed care”, dan di Indonesia dinamakan metode/cara atau mekanisme JPKM (Jaminan pemeliharaan Kesehatan Masyarakat).
Managed Care (Managed Health Care) adalah sistem yang mengintegrasikan antara pembiayaan dan pelayanan kesehatan yang tepat dengan ciri-ciri sebagai berikut: kontrak dengan dokter atau rumah sakit yang terpilih untuk memberikan pelayanan komprehensif termasuk promosi dan prevensi kepada populasi peserta, pembayaran pada provider dengan sistem pembayaran prospektif, pembayaran premi per orang per bulan telah ditentukan sebelumnya dan biasanya berdasar kapitasi, adanya kendali utilisasi dan mutu dimana dokter atau rumah sakit telah menerima kendali tersebut dalam kontrak, adanya insentif finansial bagi pasien untuk memanfaatkan provider dan fasilitas yang ditunjuk dan adanya risiko finansial bagi dokter ataupun rumah sakit
Di Indonesia tantangan terhadap akses, pemerataan, peningkatan biaya dan tuntutan kualitas pelayanan kesehatan akan diperberat dengan adanya realitas perubahan demografi, sosio ekonomi dan perubahan pola penyakit dan masuknya teknologi canggih di bidang kesehatan. Karena itulah nampaknya sistem managed care dapat digunakan sebagai langkah antisipatif yang mengacu masa depan, menguntungkan semua fihak dan kompetitif.
Sebenarnya sistem pelayanan yang diterapkan oleh PT. Askes, PT. Jamsostek dan Bapel JPKM sudah mengarah ke prinsip-prinsip managed care. Hanya karena kesiapan beberapa pihak baik dari demand side (masyarakat) maupun supply side (penyedia pelayanan kesehatan) yang belum optimal maka jalannya masih belum seperti yang diharapkan. Selain itu perundang-undangan yang terkait dengan asuransi kesehatan di Indonesia (Kepres No 280/1968, PP 69/1991, UU No 2/1992, UU No 3/1992, PP 14/1992, PP 36/194, UU No 23/1992), masih terkesan "tumpang tindih dan bersifat pluralistik", sementara UU No. 40 tahun 2004 pun belum dapat terealisasi mengingat Peraturan Pemerintah yang mengatur secara teknis juga belum ada. Tata hukum yang mengatur kedudukan, fungsi dan hubungan antara peserta, penyedia pelayanan kesehatan (rumah sakit dan dokter) serta badan penyelenggara asuransi kesehatan nampaknya masih belum siap.

Jumat, 09 Mei 2008

Penyakit Akibat Kerja

Oleh: Edi Subroto

Penyakit akibat kerja atau yang lebih dikenal sebagai man made diseases, dapat timbul setelah seorang pekerja yang tadinya terbukti sehat memulai pekerjaanya menjadi sakit selama dan setelah bekerja. Memang tidak semua pekerjaan menimbulkan penyakit, ada pekerjaan yang menyebabkan beberapa macam penyakit, dan ada pula yang mencetuskannya. Baik penyebab maupun pencetus dapat dicegah sedini mungkin (Silalahi B.N.B dan Silalahi R.B., 1985).
Pencegahan dapat dimulai dengan pengendalian secermat mungkin pengganggu kerja dan kesehatannya. Gangguan ini terdiri dari (Silalahi B.N.B dan Silalahi R.B., 1985):
  1. Beban kerja (ringan/sedang/berat atau fisik/mental/sosial).
  2. Beban tambahan oleh faktor-faktor lingkungan kerja seperti faktor fisik, kimia, biologis, dan psikologis.
  3. Kapasitas kerja atau kualitas pekerja itu sendiri yang mencakup kemahiran, umur, daya tahan tubuh, jenis kelamin, gizi, ukuran tubuh, dan motivasi kerja.

Kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja merupakan tiga komponen utama dalam kesehatan kerja, dimana hubungan interaktif dan serasi antara ketiga komponen tersebut akan menghasilkan kesehatan kerja yang baik dan optimal. Kapasitas kerja yang baik seperti status kesehatan kerja dan gizi kerja yang baik serta kemampuan fisik yang prima diperlukan agar seorang pekerja dapat melakukan pekerjaannya dengan baik.

Kondisi atau tingkat kesehatan pekerja sebagai (modal) awal seseorang untuk melakukan pekerjaan harus pula mendapat perhatian. Kondisi awal seseorang untuk bekerja dapat depengaruhi oleh kondisi tempat kerja, gizi kerja dan lain-lain. Beban kerja meliputi beban kerja fisik maupun mental. Akibat beban kerja yang terlalu berat atau kemampuan fisik yang terlalu lemah dapat mengakibatkan seorang pekerja menderita gangguan atau penyakit akibat kerja. Kondisi lingkungan kerja (misalnya panas, bising debu, zat-zat kimia dan lain-lain) dapat merupakan beban tambahan terhadap pekerja. Beban-beban tambahan tersebut secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dapat menimbulkan gangguan atau penyakit akibat kerja.

Gangguan kesehatan pada pekerja dapat disebabkan oleh faktor yang berhubungan dengan pekerjaan maupun yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa status kesehatan masyarakat pekerja dipengaruhi tidak hanya oleh bahaya kesehatan ditempat kerja dan lingkungan kerja tetapi juga oleh faktor-faktor pelayanan kesehatan kerja, perilaku kerja serta faktor lainnya. Penyakit akibat kerja dan atau berhubungan dengan pekerjaan dapat disebabkan oleh pemajanan di lingkungan kerja. Dewasa ini terdapat kesenjangan antara pengetahuan ilmiah tentang bagaimana bahaya-bahaya kesehatan berperan dan usaha-usaha untuk mencegahnya. Untuk mengantisipasi permasalahan ini maka langkah awal yang penting adalah pengenalan/identifikasi bahaya yang bisa timbul dan di Evaluasi, kemudian dilakukan pengendalian. Untuk mengantisipasi dan mengetahui kemungkinan bahaya di lingkungan kerja ditempuh tiga langkah utama, yakni (Depkes, 2006):

  1. Pengenalan lingkungan kerja.
    Pengenalan linkungan kerja ini biasanya dilakukan dengan cara melihat dan mengenal “walk through inspection”, dan ini merupakan langkah dasar yang pertama-tama dilakukan dalam upaya kesehatan kerja.
  2. Evaluasi lingkungan kerja.
    Merupakan tahap penilaian karakteristik dan besarnya potensi-potensi bahaya yang mungkin timbul, sehingga bisa untuk menentukan prioritas dalam mengatasi permasalahan.
  3. Pengendalian lingkungan kerja.
    Dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan pemajanan terhadap zat/bahan yang berbahaya di lingkungan kerja. Kedua tahapan sebelumnya, pengenalan dan evaluasi, tidak dapat menjamin sebuah lingkungan kerja yang sehat. Jadi hanya dapat dicapai dengan teknologi pengendalian yang adekuat untuk mencegah efek kesehatan yang merugikan di kalangan para pekerja.

Pengendalian dapat dilakukan melalui, yaitu (Depkes, 2006):

1. Pengendalian lingkungan (Environmental Control Measures)

  • Disain dan tata letak yang adekuat
  • Menghilangan atau pengurangan bahan berbahaya pada sumbernya.


2. Pengendalian perorangan (Personal Control Measures)

Penggunaan alat pelindung perorangan merupakan alternatif lain untuk melindungi pekerja dari bahaya kesehatan. Namun alat pelindung perorangan harus sesuai dan adekuat.
Selain itu pembatasan waktu selama pekerja terpajan terhadap zat tertentu yang berbahaya dapat menurunkan risiko terkenanya bahaya kesehatan di lingkungan kerja. Kebersihan perorangan dan pakaiannya, juga merupakan hal yang penting, terutama untuk para pekerja yang dalam pekerjaannya berhubungan dengan bahan kimia serta partikel lain.

Promosi Kesehatan

Oleh: Edi Subroto

Promosi kesehatan berdasarkan Ottawa Charter tahun 1986 adalah proses dari memampukan masyarakat untuk meningkatkan kontrol dan memperbaiki kesehatan mereka. Untuk mencapai derajat kesehatan yang sempurna dari fisik, mental, sosial individu maupun masyarakat yang harus mampu mengidentifikasi dan mewujudkan aspirasi, memuaskan kebutuhan dan mengubah atau mengatasi lingkungannya Promosi kesehatan adalah proses memberdayakan atau memandirikan masyarakat untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya melalui peningkatan kesadaran, kemauan dan kemampuan, serta pengembangan lingkungan kesehatan yang sehat (Depkes RI, 2000).
Banyak hal telah diperdebatkan sejak pertengahan tahun 1980-an tentang penggunaan istilah promosi kesehatan dan pendidikan kesehatan. Promosi kesehatan lebih mengacu kepada kesehatan yang menyeluruh yang melibatkan partisipasi dari semua sektor daripada pendidikan kesehatan yang berorientasi pada pemberian informasi dan terlibat dalam perubahan perilaku dan sikap perorangan. Kritik yang mengatakan pendekatan pendidikan kesehatan terlalu sempit, terlalu memusatkan pada gaya hidup perorangan sementara dalam mengatasi masalah kesehatan dibutuhkan partisipasi semua sektor (Ewless dan Simnet, 1992). Aspek promosi kesehatan yang mendasar bertujuan melakukan pemberdayaan sehingga orang mempunyai kontrol yang lebih besar terhadap aspek-aspek kehidupan mereka yang mempengaruhi kesehatan dan pendidikan kesehatan dilihat sebagai unsur yang penting dalam promosi kesehatan. Adapun langkah kongkrit dari promosi kesehatan yaitu: membangun kebijakan yang berwawasan kesehatan, menciptakan lingkungan yang mendukung, memperkuat gerakan masyarakat, mengembangkan keterampilan individu, dan reorientasi pelayanan kesehatan.

Promosi kesehatan dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai metode dan media. Metode yang digunakan tergantung dari kelompok yang menjadi sasaran. Jika kelompok sasarannya kelompok besar maka metode yang dapat digunakan adalah ceramah atau seminar. Sedangkan media yang digunakan dapat berupa media cetak (brosur dan poster), elektronik (TV, radio, video, slide, dan film), maupun media papan (billboard).

Abstrak Penelitian_3

Studi Komparatif Penerapan Sistem Manajemen K3 Terhadap Kecelakaan Kerja dan Produktivitas pada Pabrik Kelapa Sawit di Sumatera Utara

Oleh: Edi Subroto

Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) merupakan suatu system manajemen yang diterapkan di perusahaan dalam mengendalikan dan menanggulangi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam rangka pengendalikan risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman dan produktif khususnya Pabrik Kelapa Sawit di Sumatera Utara. Studi komperatif ini dilakukan pada tiga Pabrik Kelapa Sawit yang ada di Sumatera Utara yang telah diaudit dan telah mendapat sertifikat bendera emas, perak dan pembinaan. Tujuannya untuk melihat apakah ada perbedaan sebelum dan setelah penerapan SMK3 terhadap kecelakaan kerja dan produktivitas. Hasil pengamatan dan wawancara yang telah dilakukan di perusahaan kemudian dianalisis, diperoleh kesimpulan bahwa dari ketiga sample penelitian yang memiliki perbedaan dalam tingkat penerapan SMK3 ternyata tidak ada perbedaan tingkat kecelakaan kerja baik Frekuensi Rate (FR) maupun Severity Rate (SR) sebelum maupun setelah penerapan, bahkan justru setelah penerapan terjadi peningkatan FR dan SR. Kaitannya dengan produktivitas maka dari hasil perhitungan yang dilakukan terhadap ketiga sample PKS sesuai dengan tingkatan dari pada SMK3 yang berbeda pula, terutama pada PKS A yang menerapkan paling baik terjadi peningkatan produktivitas. Sedangkan pada PKS B yang menerapannya lebih buruk dan PKS C yang paling buruk terjadi penurunan produktivitas, dimana pada PKS C penurunan produktivitasnya jauh lebih besar dari pada PKS B antara sebelum dan setelah penerapan. Disarankan agar pengusaha dan pengurus harus tetap menunjukkan komitmen yang kuat terhadap K3 secara berkelanjutan, pemerintah melalui departemen/dinas tenaga kerja harus melakukan pengawasan dan pembinaan ke perusahaan serta diterapkannya manajemen kendali rugi.

Kata Kunci: Sistem Manajemen K3, Kecelakaan Kerja, Produktivitas

Abstrak Penelitian_2

Pengaruh Promosi Kesehatan dalam Meningkatkan Pengetahuan dan Sikap Pekerja untuk Pencegahan Penyakit Akibat Kerja di Perusahaan Meubel PT. Yunesia Tanjung Morawa
Oleh: Linda T.H. Marpaung dan Edi Subroto

Penyakit akibat kerja dapat timbul setelah seorang pekerja yang tadinya terbukti sehat memulai pekerjaanya menjadi sakit selama dan setelah bekerja. Penyakit akibat kerja dapat disebabkan oleh pemajanan di lingkungan kerja, pekerjaan yang berisiko, dan perilaku pekerja yang buruk.
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ceramah dan brosur terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap dalam pencegahan penyakit akibat kerja di Perusahaan Meubel PT. Yunesia Tanjung Morawa. Jenis penelitian adalah kuasi eksperimental dengan rancangan non equivalent control group design dengan pretest-postest dimana rancangan ini tidak ada kelompok pembanding (kontrol). Populasi adalah semua pekerja pada bagian produksi di perusahaan Meubel PT. Yunesia Tanjung Morawa yang berjumlah 56 orang, dengan sampel sebanyak 30 orang berdasarkan purposive sampling. Analisis menggunakan Paired Sample T-Test.
Berdasarkan hasil analisis pengetahuan diperoleh t hitung adalah -21,980 dengan probabilitas (p) = 0,000 (p<0,05).
Kata Kunci: Promosi Kesehatan, Pengetahuan dan Sikap Pekerja, serta Pencegahan Penyakit Akibat Kerja

Abstrak Penelitian_1

Pengaruh Penyuluhan Kewaspadaan Universal Terhadap Perilaku Perawat Dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial Di Rumah Sakit Umum Kota Pematang Siantar
Oleh: Marchiani Ginting dan Edi Subroto

Kewaspadaan Universal (KU) adalah suatu konsep penanggulangan infeksi Nosokomial, di mana strategi pelaksanaannya menitikberatkan pada pengendalian penyebaran infeksi yang terjadi melalui darah dan cairan tubuh secara universal tanpa memandang status infeksi dari pasien. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penyuluhan kewaspadaan universal terhadap perilaku perawat dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Kota Pematang Siantar. Jenis penelitian adalah penelitian kuantitatif dengan rancangan One Group Pretest-postest, dimana rancangan ini tidak ada kelompok pembanding (kontrol). Populasi adalah semua perawat di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam, Ruang Operasi, IGD, dan ICU dengan sampel sebanyak 33 orang. Analisis menggunakan Paired Sample T-test, yaitu pengujian terhadap 2 sampel yang saling berpasangan.
Berdasarkan hasil analisis untuk pengetahuan diperoleh t hitung yang diperoleh adalah -8,110 dengan probabilitas (p) = 0,000 (p<0,05),>
Kata Kunci: Kewaspadaan Universal, Perilaku Perawat, Pengendalian Infeksi Nosokomial

Kamis, 08 Mei 2008

Puskesmas

PUSKESMAS MILIK SIAPA?
Oleh : Edi Subroto, SKM, M.Kes

Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) sebagai Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Jika ditinjau dari system pelayanan kesehatan di Indonesia, maka peranan dan kedudukan Puskesmas adalah ujung tombak sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Ini disebabkan karena peranan dan kedudukan Puskesmas di Indonesia adalah amat unik. Sebagai sarana pelayanan kesehatan terdepan di Indonesia, maka Puskesmas selain bertanggung jawab dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan masyarakat, juga bertanggung jawab dalam menyelenggarakan pelayanan kedokteran. Namun jika dilihat dari arti katanya dapat dipahami bahwa Puskesmas merupakan tempat dimana masyarakat mendapat pelayanan kesehatan dasar secara komprehensif bagi semua lapisan masyarakat, baik masyarakat miskin, menengah, maupun kaya. Namun kenyataannya apakah demikian? Apakah Puskesmas diminati seluruh masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar yang dibutuhkan? Atau hanya segelintir masyarakat saja dengan alasan tarifnya yang relatif murah bahkan gratis (karena kalau mahal mereka tidak mampu membayarnya). Dan seandainya mereka menjadikan Puskesmas sebagai pilihan utama untuk berobat, apakah disebabkan karena pelayanan yang diberikan sudah bermutu sehingga dapat memuaskan masyarakat? Atau mereka tidak memiliki pilihan yang lain untuk berobat kesarana yang mutunya lebih baik dengan kompensasi tarif yang relatif lebih tinggi karena ketidakmampuan untuk membayar dengan tarif tersebut?
Berbagai pertanyaan mungkin dapat muncul dibenak kita, sesuai dengan persepsi yang kita miliki terhadap pelayanan kesehatan di Puskesmas. Memang harus diakui selama ini pelayanan kesehatan di Puskesmas masih jauh dari harapan. Kesemuanya ini tidak terlepas dari paradigma Puskesmas yang dikembangkan selama ini kurang dijiwai oleh seluruh petugas kesehatan di Puskesmas, meskipun materi program yang dijalankan cukup baik. Program jaminan mutu (Quality Assurance) misalnya, hanya sekedar dalam level pengetahuan petugas saja, tidak ditindaklanjuti oleh sikap dan tindakan yang bermutu. Sehingga tidak memberikan pengaruh apa-apa dalam meningkatkan mutu pelayanan.
Sebenarnya kalau seluruh petugas Puskesmas memiliki komitmen yang kuat dalam meningkatkan mutu pelayanan dan menjiwai melalui penerapan program jaminan mutu (Quality Assurance) yang dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan, Puskesmas di Kota Medan akan menjadi salah satu pilihan utama sarana pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat. Namun sampai saat ini Puskesmas hanya diminati oleh sebagian kecil masyarakat saja terutama masyarakat miskin. Salah satu alasan bagi golongan menengah ke atas yang tidak mau berobat ke Puskesmas adalah karena mutu pelayanan di Puskesmas masih jauh dari yang diharap. Mereka lebih mempercayai Rumah Sakit, praktik dokter baik spesialis maupun umum ataupun klinik swasta lainnya meskipun dengan biaya lebih mahal, selain sistem rujukan tidak berjalan dengan baik.
Hal ini perlu menjadi renungan bagi kita bahwa Puskesmas sebagai sarana pelayanan kesehatan dasar sebenarnya “milik siapa”. Apakah hanya diperuntukkan bagi masyarakat menengah ke bawah atau seluruh masyarakat tanpa melihat status ekonominya? Namun terlepas dari semuanya itu, tanpa disadari pada saat ini masyarakat perkotaan khususnya di Kota Medan sudah mulai “cerdas” dalam mencari sarana pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan dan mampu memberikan kepuasan kepada mereka. Orientasi pada tarif sudah mulai bergeser ke mutu pelayanan. Apalagi berbagai informasi kasus dugaan malpraktik yang sering mereka dengar, baca dan lihat dari berbagai media massa baik cetak maupun elektronik, mampu mengaburkan persepsi mereka terhadap suatu pelayanan kesehatan. Sehingga mau tidak mau Puskesmas harus berani merubah “wajah” baik secara fisik maupun non fisik yang diharapkan pada gilirannya mampu merubah pandangan masyarakat tentang mutu pelayanan kesehatan khususnya di Puskesmas.
Oleh karena itu sangatlah tepat jika Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan Dr. Umar Zein, DTM&H, SpPD-KPTI baru-baru ini telah mengeluarkan paradigma “Puskesmas POPULER” dengan maksud agar seluruh petugas Puskesmas lebih menjiwai makna yang sesungguhnya dari pelayanan yang bermutu. Hal ini harus menjadi suatu gerakan yang bermakna dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di Puskesmas. Sehingga Puskesmas tidak dipandang sebelah mata oleh masyarakat karena telah mampu memberikan pelayanan yang memuaskan masyarakat.
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan “Puskesmas POPULER”? POPULER sebenarnya singkatan dari Peduli, Optimis, Prioritas, Unggul, Loyal, Efektif, dan Responsif. Puskesmas di Kota Medan harus memiliki kepedulian yang tinggi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Bentuk kepedulian ini diharapkan mampu mengidentifikasi berbagai kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu; Puskesmas harus optimis dalam memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat dan dalam mencapai target-target indikator kecamatan sehat; Puskesmas harus mampu menentukan prioritas program dan prioritas masalah sesuai dengan potensi dan kondisi yang dihadapi di wilayah kerjanya; Puskemas harus memiliki keunggulan pelayanan yang dibutuhkan masyarakat, baik unggul dalam hal penampilan, kinerja, maupun pelayanan yang berkualitas sehingga memiliki nilai jual yang dapat dihandalkan; Puskesmas harus memiliki loyalitas yang tinggi dalam menjalankan komitmennya untuk memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan program kerja tahunan maupun Renstra yang telah ditetapkan; Puskesmas harus dapat menjalankan berbagai program secara efektif dengan menggunakan berbagai metode yang mampu mempercepat pencapaian kecamatan sehat; serta Puskesmas juga harus tanggap (responsif) terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat sehingga permasalahan yang ada dapat cepat terselesaikan dan tidak menyebar luas sampai mengorbankan masyarakat.
Jika hal ini dapat direalisasikan oleh seluruh petugas Puskesmas dengan sepenuh hati dan niat ikhlas, maka dalam waktu singkat Puskesmas di Kota Medan akan memiliki nilai jual yang tinggi karena memiliki “wajah” baru yang mampu memikat pelanggan. Sehingga Puskemas tidak hanya milik masyarakat miskin saja tetapi milik semua masyarakat Kota Medan yang menginginkan pelayanan kesehatan yang bermutu.

Kesehatan Kerja

UPAYA KESEHATAN KERJA DAN MANFAATNYA

Oleh
Edi Subroto, SKM, M.Kes

Upaya Kesehatan Kerja menurut Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Pasal 23 adalah upaya penyerasian antara kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan dirinya sendiri maupun masyarakat di sekelilingnya, agar diperoleh produktivitas kerja yang optimal.

Dalam kondisi perkembangan pembangunan kearah industrialisasi dimana persaingan pasar semakin ketat, sangat diperlukan tenaga kerja yang sehat dan produktif. Searah dengan hal tersebut kebijakan pembangunan di bidang kesehatan ditujukan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi seluruh masyarakat, termasuk masyarakat pekerja.

Masyarakat pekerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan, dimana dengan berkembangnya IPTEK dituntut adanya Sumber Daya Manusia yang berkualitas dan mempunyai produktivitas yang tinggi hingga mampu meningkatkan kesejahteraan dan daya saing di era globalisasi.

Kesehatan merupakan kekayaan yang tiada ternilai harganya. Manusia akan mampu bekerja dan berprestasi jika memiliki kesehatan. Bagi tenaga kerja, kesehatan merupakan modal utama untuk dapat bekerja dengan baik atau secara produktif. Upaya perlindungan terhadap bahaya-bahaya yang dapat timbul, pencapaian ketentraman dan ketenangan kerja serta cara-cara kerja yang aman merupakan kebutuhan yang amat mendasar. Salah satu upaya ke arah itu adalah memberikan perlindungan terhadap kesehatan tenaga kerja.

Agar peningkatan produktivitas kerja dapat dicapai, pekerjaan harus dilakukan dengan cara dan lingkungan kerja yang memenuhi syarat keselamatan dan kesehatan. Jika persyaratan tersebut tidak terpenuhi, maka terjadi ketidaknyamanan kerja, penyakit dan kecelakaan akibat kerja. Permasalahan tersebut juga disebabkan oleh ketidakseimbangan antara beban kerja dengan kapasitas atau kemampuan kerja yang dimiliki pekerja. Penyakit dan kecelakaan akibat kerja yang menyebabkan menurunnya daya kerja disebabkan faktor fisik, kimiawi, biologis, fisiologis dan atau mental psikologis yang terdapat dalam pekerjaan dan atau lingkungan kerja. Faktor-faktor tersebut jika tidak dicegah/dikendalikan dapat berakibat terjadinya penyakit dan kecelakaan akibat kerja oleh karena itu faktor-faktor tersebut harus dapat dikendalikan.
Ada beberapa upaya pengendalian yang dapat dilakukan agar pekerja dapat terhindar dari penyakit dan kecelakaan akibat kerja yaitu:

A. Pengendalian Melalui Perundang-undangan (Legislative Control) antara lain :
  • UU No. 14 Tahun 1969 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja.
  • UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
  • UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
  • Peraturan Menteri Kesehatan tentang higene dan sanitasi lingkungan.
  • Peraturan penggunaan bahan-bahan berbahaya
  • Peraturan/persyaratan pembuangan limbah dll.

B. Pengendalian melalui Administrasi/Organisasi (Administrative Control) antara lain :

  • Persyaratan penerimaan tenaga medis, para medis, dan tenaga non medis yang meliputi batas umur, jenis kelamin, syarat kesehatan.
  • Pengaturan jam kerja, lembur dan shift.
  • Menyusun Prosedur Kerja Tetap (Standard Operating Procedure) untuk masing-masing instalasi dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaannya.
  • Melaksanakan prosedur keselamatan kerja (safety procedures) terutama untuk pengoperasian alat-alat yang dapat menimbulkan kecelakaan (boiler, alat-alat radiology, dll) dan melakukan pengawasan agar prosedur tersebut dilaksanakan.

Melaksanakan pemeriksaan secara seksama penyebab kecelakaan kerja dan mengupayakan pencegahannya.

C. Pengendalian Secara Teknis (Engineering Control) antara lain:

  • Substitusi dari bahan kimia, alat kerja atau proses kerja.
  • Isolasi dari bahan-bahan kimia, alat kerja, proses kerja dan petugas kesehatan dan non kesehatan (penggunaan alat pelindung).
  • Perbaikan sistim ventilasi, dan lain-lain.

D. Pengendalian Melalui Jalur kesehatan (Medical Control)
Yaitu upaya untuk menemukan gangguan sedini mungkin dengan cara mengenal (Recognition) kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang dapat tumbuh pada setiap jenis pekerjaan di unit pelayanan kesehatan dan mencegah meluasnya gangguan yang sudah ada baik terhadap pekerja itu sendiri maupun terhadap orang disekitarnya. Dengan deteksi dini, maka penatalaksanaan kasus menjadi lebih cepat, mengurangi penderitaan dan mempercepat pemulihan kemampuan produktivitas masyarakat pekerja. Disini diperlukan sistem rujukan untuk menegakkan diagnosa penyakit akibat kerja secara cepat dan tepat (prompt-treatment).


Jika upaya pengendalian tersebut dapat dilakukan secara efektif, maka dapat dipastikan pekerja akan dapat bekerja lebih bergairah, sehat, dan selamat sehingga tingkat produktivitas yang optimal dapat tercapai. Namun persoalannya adalah maukah pengusaha melakukan upaya tersebut dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab dalam menerapkan upaya kesehatan kerja? Atau sudahkah pengusaha menyadari bahwa dengan menerapkan upaya kesehatan kerja, akan memberikan keuntungan yang besar bagi pengusaha karena produktivitas dapat ditingkatkan?

Sebenarnya jika kita menyadari betapa besarnya manfaat yang akan dirasakan baik bagi pengusaha, pekerja, maupun masyarakat sekelilingnya, maka tidak ada alasan bagi pengusaha untuk tidak mau menerapkan upaya kesehatan kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Memang saat ini, umumnya pelaksanaan upaya kesehatan kerja di Indonesia masih tersendat-sendat, belum sampai pada tahap menjadi suatu kebutuhan bagi perusahaan/industri, sedangkan di bebarapa negara lainnya yang memiliki industri yang berisiko tinggi atau menerapkan teknologi canggih, manajemen sudah dikelola menyatu dan terpadu dengan kegiatan manajemen keseluruhan di perusahaan.

Suatu hal yang wajar bila pimpinan perusahaan mengharapkan adanya profit yang nyata diperoleh dari penerapan upaya kesehatan kerja tersebut, dan tuntutan semacam ini dapat direalisasikan dalam bentuk:

  • Peningkatan efisiensi kerja atau bahkan peningkatan produktivitas kerja (antara lain karena suasana tempat kerja yang nyaman dan aman.
  • Mantapnya kehandalan proses produksi (operasional perusahaan menjadi stabil).
  • Berdampak psikologis yaitu berupa meningkatnya kepercayaan konsumen atau masyarakat karena perusahaan meraih suatu penghargaan.

Namun kesemuanya itu sepertinya kurang diyakini oleh pihak manajemen perusahaan, sehingga bukan profit yang didapat tetapi justru kerugian yang diterima. Kebanyakan kerugian yang ditimbulkan oleh kecelakaan kerja bermula pada kurang tanggapnya manajemen terhadap risiko dan kerugian. Biasanya untuk menjamin jangan sampai timbul kerugian seperti ini, perusahaan cukup membeli polis asuransi saja. Karugian adalah kerugian, apakah ditutup dengan asuransi atau tidak. Kebijakan seperti ini tidak menjangkau kedalaman pada akar timbulnya kerugian.
Kecelakaan kerja makin hari makin mahal. Kemungkinan terjadinya kecelakaan, sejalan dengan semakin canggihnya peralatan, perlengkapan, dan proses produksi. Itulah sebabnya doktrin kecelakaan dan kesehatan kerja harus bertumpu pada pengendalian kecelakaan kerja dan bukan pada penanggulangan kecelakaan kerja, sehingga sistem kendali manajemen harus mencakup pengendalian kerugian menyeluruh.

Namun kenyataannya, masih banyak pimpinan perusahaan yang melupakan tanggung jawabnya dengan tidak memasukkan upaya kesehatan kerja ke dalam fungsi manajemen. Hal ini disebabkan adanya pandangan bahwa penerapan upaya kesehatan kerja di perusahaan merupakan pengeluaran kedua (investasi kedua) yang tidak memberikan keuntungan (uang) secara langsung atau merupakan suatu kerugian belaka karena mengeluarkan dana yang cukup besar. Tanpa disadari bahwa dengan tidak menerapkan upaya kesehatan kerja justru dapat memberikan kerugian yang besar baik bagi perusahaan, tenaga kerja serta keluarganya dan masyarakat sekitar perusahaan.

Semoga hal ini dapat membuka inspirasi yang bermanfaat bagi semua pihak untuk lebih mengedepankan aspek upaya kesehatan kerja, apalagi jika kita memahami bahwa tenaga kerja memiliki hak untuk memperoleh perlindungan keselamatan dan kesehatan dari berbagai risiko atau kemungkinan yang dapat menimpa dan menggangu tenaga kerja dalam melaksanakan pekerjaannya.